Keimanan Mengobati Kesepian

Tiada sesuatu pun yang tidak memuliakan Nama-Nya dengan puji-pujian

Kedamaian Allah, Rahmat-Nya serta ampunan-Nya semoga terlimpah atas kamu dan saudara-saudaramu, sepanjang siang dan malam berjalan, sore hari ke sore hari selanjutnya, sepanjang bulan terus muncul setelah sirnanya dan ‘Farkadan’ (bintang Beta dan Ursae Minoris) bertemu.

Saudara-saudara yang tekun, teman-teman yang giat dan sarana penghiburku di dunia pemisahan dan pengasingan ini,

Karena Allah Yang Maha Esa telah membuatmu mampu berbagi makna yang Dia juga telah berikan padaku, engkau pastilah berhak mengetahui isi hatiku juga. Aku tidak bermaksud untuk mengaitkan kesengsaraan yang tak tertahankan yang timbul dari pemisahan ini, karena itu mungkin bisa menyebabkan kesengsaraan yang dalam terhadapmu. Apa yang aku ingin tuliskan adalah menulis keadaan di sekitarku.

Aku sangat kesepian selama tiga bulan terakhir ini. Paling sering satu kali dalam lima belas atau dua puluh hari seorang tamu mampir. Kalau tidak, aku benar-benar sendiri. Selain itu, sudah ada dua puluh hari sejak para pendaki gunung meninggalkan daerah itu.

Pada saat malam ini, di gunung-gunung yang terlupakan, sunyi, di antara suara-suara pilu pepohonan, aku merasa begitu tenggelam dalam lima jenis kesepian.

Pertama, sebagai orang berusia lanjut, aku menjadi terpisah dari sebagian besar sebayaku, teman dan kerabat. Sejak mereka meninggalkanku ke alam antara (dunia antara kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya), aku merasakan pengasingan yang paling menyedihkan. Kesepian ini menyebabkan aku merasakan jenis pemisahan yang kedua yang berasal dari hilangnya sebagian besar makhluk dengan siapa aku merasa memiliki hubungan seperti dengan mata air yang mengalir. Yang selanjutnya menimbulkan di dalam diriku perasaan akan pemisahan yang lain yang disebabkan karena jauh dari tempat tinggal dan kerabat. Selain itu, pemandangan malam gelap gunung-gunung membuatku merasakan jenis pemisahan yang lain. Akhirnya, aku melihat jiwaku terpisah secara penuh dalam perjalanannya ke keabadian dari rumah peristirahatan ini, yaitu, dunia. Aku tiba-tiba mengucapkan, Allahu akbar, heran betapa aku bisa tahan terhadap begitu banyak macam pemisahan. Sementara aku merasakan hatiku merintih dengan bait-bait ini:

Ya Allah, aku orang asing, aku kesepian dan lemah, tak berdaya, tua dan sakit, dan aku tidak punya pilihan sama sekali;
Ya Allah, aku pohonkan kemurahan-Mu, memohon ampunan-Mu, dan aku menangis meminta bantuan dari Singgasana Kebesaran-Mu!

Pada titik itu cahaya keimanan, kemuliaan tinggi Quran dan rida dari Yang Maha Mulia datang menolongku dan mengubah lima jenis pemisahan menjadi lima lingkaran persahabatan yang hangat. Ketika aku mengucapkan, Allah sudah cukup bagi kami; Dia adalah Pelindung yang paling baik. Tidak ada tuhan selain Dia, hatiku melantunkan ayat tersebut, Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah: ‘Cukuplah Allah bagiku; Tidak ada tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku bertawakkal. Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (Singgasana) yang Agung.’ [QS, 9: 129]

Juga jiwaku yang wujud, menangis dan meratap dalam kesengsaraan yang kejam, dibujuk oleh akal sehatku, yang mengatakan padanya,

Wahai orang yang tak berdaya, berhentilah meratap dan percayalah pada Allah, karena ratapan ini adalah suatu kesalahan yang menyebabkan kesulitan demi kesulitan;
Jika engkau telah menemukan Dia yang membuatmu menderita, maka penderitaan ini akan berubah menjadi suatu pahala yang membawakan kedamaian dan kebahagiaan.
Dengan begitu, bersyukurlah kepada Allah daripada mengeluh, karena engkau tahu bahwa burung malam bergembira jika telah menemukan mawar.
Tetapi jika sebaliknya engkau tidak menemukan Dia, maka seluruh dunia adalah tempat penderitaan dan kemalangan.
Jika engkau memiliki suatu tanggung jawab yang besar, mengapa engkau mengeluhkan suatu kemalangan yang sepele?
Kemarilah, percayakan kepada Allah dan hapus kemalangan itu sehingga engkau bisa memahami bahwa dalam kenyataan itu tidak berarti.
Pandangan itu akan mengurangi kesulitan itu menjadi tidak berarti dan bahkan akan mengubahnya menjadi sesuatu yang memberi kegembiraan.

Maka, seperti Maulana Jalal al-Din, aku berkata kepada diriku sendiri:

Dia bertanya: “Bukankah saya (Tuhanmu)?” dan engkau menjawab: “Ya!”
Bagaimana seseorang dapat berterima kasih kepada-Nya untuk “ya” (pembenaran) itu? Dengan menderita kemalangan ini adalah perkataanmu: Apa arti dibalik “ya” itu?
“Aku adalah hamba yang terikat rantai kemiskinan dan kefanaan.”

Dalam hal ini, jiwa wujudku juga mengakui bahwa manusia bisa membuka pintu untuk memahami ketidakberdayaan dan kemiskinannya melalui kuasa dan kekayaan Allah, dan dengan menaruh kepercayaan kepada-Nya dan mencari perlindungan dari Dia. Maka dia akan memuji dan bersyukur pada Allah untuk cahaya keimanan dan penyerahan diri. Aku sampai pada pemahaman betapa mulia kebenaran dalam bait dari ungkapan Arif Ata’ullah Iskandarani:

Apa yang dia temukan dari orang yang kehilangan Tuhan?
Dan apa yang tidak dia temukan dari orang yang telah menemukan Tuhan?

Ini membuatku memahami makna dalam dari sabda Nabi:

Berita gembira menunggu mereka yang dilihat (oleh lainnya) sebagai orang yang aneh (karena keimanan islami)!

Walaupun, saudara-saudaraku, kesepian dan perasaan terpisah telah dihilangkan oleh cahaya keimanan, hal itu bagaimanapun juga meninggalkan suatu kesan yang kuat pada jiwaku. Itu mendorongku bertanya pada diri sendiri jika kewajibanku dalam rumah peristirahatan dunia ini telah berakhir, karena dunia ini hanyalah sebuah pelabuhan dalam perjalananku ke keabadian, sehingga aku mungkin menyerahkan kewajiban itu kepada kau dan pada Kata-kata. Itulah mengapa aku dulu menanyakan kau apakah Kata-kata cukup untuk menghilangkan semua keraguan mengenai kebenaran-kebenaran keimanan, sehingga aku bisa melupakan dunia dan, seperti yang dikatakan Maulana Jalal al-Din,

Apa engkau tahu apa itu ‘sama’ (berputar-putar dalam kehusyu’an)?
Itu adalah untuk menikmati keabadian dalam penghapusan diri mutlak.

Carilah kenikmatan dari penghapusan diri untuk mencapai hakikat keabadian.

Hanya yang Maha Kekal sajalah yang abadi.

Said Nursi


  • Dikutip dari buku Menjawab yang tak terjawab, menjelaskan yang tak terjelaskan, edisi bahasa Indonesia dari Al-Maktubat (The Letters), seri ke-2 Risalah An-Nur karya Syekh Said Nursi.
  • Yang dimaksud dengan Kata-kata dalam paragraf terakhir dari tulisan di atas adalah buku/kitab Al-Kalimat (The Words), salah satu buku/kitab dari Risalah An-Nur.